Rabu, 05 November 2008

MANUSIA DAN AGAMA

Tidak ada keraguan bahwa Barat dan dunia Kristen, menjadi tempat lahirnya berbagai pemikiran tentang filsafat agama. Di sisi lain, revolusi ilmu pengetahuan serta industri di dunia Barat telah memberikan perubahan besar pada persoalan kemanusiaan.
Berangkat dari fenomena tersebut, para pemikir membagi kebutuhan manusia terhadap agama ke dalam dua kategori:
Pertama, kalangan yang memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman serta eksperimen menyebabkan manusia tidak lagi membutuhkan agama.
Kedua, kalangan yang berpendapat bahwa sebagian besar kebutuhan manusia dapat terpenuhi melalui ilmu serta pengetahuan. Hanya sebagian persoalan kecil saja, yang disandarkan di pundak agama.
Dalam hal ini, para pemikir mengamini pendapat yang berupaya meneliti kembali agama serta memanfaatkannya dalam batas yang memungkinkan.
Nampaknya, dengan mempertimbangkan berbagai pengaruh pencerahan agama terhadap kehidupan, mereka menuju resultan untuk mengembalikan agama kepada masyarakat serta mengambil pengaruh positif dari kekuatan spiritual. Mereka juga berupaya memberikan pengertian kepada para oposan agama serta para kritikus kalangan gereja bahwa agama masih memiliki peran di masyarakat. Maka dari itu, tidak sepatutnya ditinggalkan begitu saja. Dari sinilah para psikolog serta sosiolog menata penelitian agama dengan mengungkapkan berbagai pengaruh positif yang dapat diperoleh dari agama.
Peralihan Isu
Melalui pembahasan di atas, jelaslah bahwa isu “Penantian Manusia terhadap Agama” merupakan peralihan dari tema sebelumnya, “Kebutuhan Manusia terhadap Agama” serta “Dampak Pencerahan Agama”. Wacana ini mengemuka dengan motif-motif tertentu yang berlainan. Salah seorang pemikir yang mengkaji tentang penantian manusia terhadap agama, menulis:
“Penantian kita sebagai manusia terhadap agama adalah agama mampu memahami kesulitan dan penderitaan kita. Dalam terminologi yang lebih luas, agama diharapkan memberikan makna bagi kehidupan manusia. Dengan memahami penderitaan yang kita alami, agama akan menyelamatkan manusia serta mengantarkan kepada kondisi yang lebih baik. Maka, tidak salah jika kita mengklaim bahwa penantian manusia terhadap agama adalah manusia sampai pada kondisi yang diharapkan dari situasi buruk sebelumnya. Dari jalan inilah, diperoleh makna kehidupan dan menjauhkan manusia dari keadaan yang tidak diharapkannya”[2]
Apa yang mereka kemukakan sebagai “Penantian Manusia terhadap Agama”, sama halnya dengan penjelasan para psikolog dalam pembahasan “Kebutuhan Manusia terhadap Agama” serta “Dampak Pencerahan Agama”. Sejatinya, hal ini lebih disebabkan adanya spirit wacana yang hampir paralel. Hanya saja, wacana tersebut belakangan mengalami peralihan tema.

Dampak Pencerahan Agama: Kacamata Psikologi
Para psikolog berupaya mempelajari kejiwaan manusia di antara sekian fenomena alam yag tak terbatas. Dalam hal ini, mereka berpendapat bahwa kembalinya manusia pada agama, memiliki pengaruh yang dapat meringankan berbagai problematika kehidupan: Pertama, terbelenggunya sifat congkak dan membangkang, Kedua, menyelesaikan kesalah fahaman, memberikan metode berpikir positif di antara sesama manusia serta berbagai ketentuan lainnya. Ketiga, Terapi untuk mengatasi berbagai kesulitan dan penderitaan hidup.
Di satu sisi, dengan kembali pada agama, manusia memperoleh ketenangan dalam menghadapi berbagai guncangan dan bencana yang bersumber dari alam maupun takdir. Pada sisi lain, sebuah keyakinan juga dapat mencegah berbagai kerusakan yang berpangkal dari peradaban serta dapat memberikan ketenangan batin[3].
Gustav Yung, sependapat bahwa agama menghadiahkan ketenangan kepada pemeluknya. Selain itu, agama juga mampu memberikan makna keberadaan manusia. Terlebih, agama juga mengajarkan kepada manusia cara mengatasi berbagai persoalan[4].
William James meyakini bahwa dengan kembali pada agama, manusia akan memperoleh ketenangan dan kebahagiaan tertentu. Agama juga memotivasi munculnya kekuatan yang mampu mengubur kegetiran hidup. Kekuatan yang diperoleh manusia dari agama untuk mengatasi berbagai kesulitan tersebut, tidak akan pernah tergantikan oleh etika. Karena semangat yang diperoleh manusia melalui keyakinan keagamaan, sama sekali tidak mampu dihasikan dari etika[5].

Kebutuhan Manusia terhadap Agama: Kacamata Sosiologi
Para sosiolog yang mendasari telaahnya pada masyarakat, memposisikan individu sebagai entitas masyarakat. Kalangan ini memandang bahwa agama memiliki pengaruh dalam mengatasi berbagai konflik sosial.
Durkheim meyakini bahwa agama dalam implementasinya, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu dikatakannya, keyakinan keagamaan memiliki peran vital dalam mewujudkan sistem ekonomi.[6]
M.Yinger berpendapat, untuk kelangsungan hidupnya, manusia memerlukan serangkaian nilai yang diyakininya. Nilai tersebut harus mampu menjawab berbagai persoalan akhir kehidupan, terutama misteri kematian. Terlebih, nilai tersebut juga harus dapat menjelaskan kepada manusia berbagai persoalan sosial, seperti: frustasi, musibah serta penderitaan lain.
Dalam hal ini, hanya agamalah yang mampu menjawab berbagai persoalan tersebut. Agama berupaya keras menjelaskan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan oleh yang lainnya. Demikian, Yinger menuturkan.[7]
Penjelasan kedua pandangan tersebut, mampu menyingkap tabir problematika sebenarnya. Mereka juga menetapkan bahwa tujuan mempertimbangkan peran agama, untuk mengungkapkan berbagai sisi positifnya. Selain itu, untuk menunjukkan bahwa sampai saat ini pun kejayaan agama belum berlalu. Manusia masih memerlukan agama dalam kehidupannya, sebagai obat penenang.

Isu Yang Masih Mentah
Isu penantian manusia terhadap agama, mengingatkan pada peristiwa di sebuah dusun. Karena lokasinya yang jauh dari dokter serta balai pengobatan, Masyarakatnya sedemikian asing dengan berbagai jenis penyakit. Mereka selalu menanti kehadiran seorang dokter yang akan mengobati berbagai jenis penyakit di daerah itu. Pada saat dokter tiba di lokasi tersebut, ia berhadapan dengan ribuan pertanyaan yang tidak mungkin terjawab oleh satu atau dua orang dokter.
Demikian halnya kondisi sosial masyarakat kini, sebagaimana penduduk dusun tersebut. Harapan serta penantian mereka terhadap agama sedemikian besar, sehingga tidak mungkin seluruhnya dapat terjawab.
Analisis di atas, mengindikasikan bahwa isu pembahasan sebaiknya dirubah dan isu “Penantian Manusia terhadap Agama” tidak semestinya dibahas. Karena, penantian masyarakat terhadap agama, tidak memiliki standar serta aturan yang jelas. Setiap kelompok menghendaki permasalahannya dapat teratasi. Kalau pun pembahasan ini harus diangkat, terlebih dahulu memerlukan penyelesaian berbagai persoalan berikut:
1. Apa penantian agama terhadap manusia?
Jika agama merupakan sebuah fenomena yang informatif serta datang dari Tuhan, apa penantiannya terhadap individu maupun masyarakat?
2. Kalau pun persoalan tersebut tetap dibahasakan dalam format pertama, yaitu apa penantian manusia terhadap agama, sebelum menjawab masalah ini, problem lainnya harus dituntaskan terlebih dahulu, bagaimana mengetahui kemampuan agama dan kualifikasinya, barulah dapat berharap sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Karena selama agama tidak dapat tergambarkan secara benar serta tidak memiliki batasan yang jelas, kita tidak dapat berharap sesuai dengan harapan.
Cobalah Anda bayangkan, untuk rehabilitasi sebuah negara yang berada dalam peradaban terbelakang, para pakar diterjunkan mendatangi lokasi tersebut. Sehingga seluruh kebutuhan masyarakat terdata serta bantuan yang diberikan pun sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
Negara dengan kondisi demikian, tidak hanya memiliki satu atau dua permasalahan. Tetapi, menyimpan segudang persoalan yang perlu penyelidikan sebelumnya, kemudian barulah permasalahan tersebut dapat diatasi oleh berbagai tim yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing.
Pada kondisi seperti itu, masyarakat tidak selayaknya berharap pada seorang atau satu tim ahli, untuk dapat mengatasi seluruh persoalan. Tetapi, sebelumnya perlu dianalisis dengan cermat sesuai dengan bidang studi serta dasar keilmuannya, barulah harapan mereka akan terjawab selaras dengan kemampuannya.
Para penggagas ide ini, sebelum menyuguhkan pemahaman keagamaan, terlebih dahulu mengutarakan berbagai harapannya, baru kemudian menentukan batasan serta memberikan sejumlah ilustrasi. Seringkali harapan-harapan mereka itu, tidak berada dalam wilayah agama. Tetapi, dapat terpenuhi melalui pengetahuan individu maupun masyarakat.
Bagaimanapun, apakah persoalan ini memiliki orisinalitas ataukah ia merupakan distorsi dari wacana “Kebutuhan Manusia terhadap Agama” atau “Pengaruh membangun agama”, yang jelas dalam topik permasalahan ini, terkandung sejumlah ambiguitas dan berbagai kesulitan yang menghantui yang urgen untuk dipecahkan.
a. Agama sebagai Alat
Isu pembahasan di atas, mengidentifikasikan pandangan sebagian kalangan, alih-alih memandang agama dari aspek ibadah dan penyembahan, serta berupaya memahami hubungannya dengan manusia, maupun hubungan pencipta dengan ciptaannya. Sebaliknya, mereka malah memposisikan agama sebagai alat serta mensejajarkannya dengan berbagai fasilitas kehidupan lain yang dapat mengatasi kesulitan manusia.
Ketika dasar harapan manusia terhadap fasilitas kehidupan begitu jelas, maka demikian pula dengan dasar penantian manusia terhadap agama. Padahal, kedudukan agama lebih tinggi dan lebih baik ketimbang berbagai sarana dan fasilitas kehidupan. Di sinilah mereka meletakkan agama sebagai alat.
Agama dalam pengertian umum merupakan keyakinan terhadap ketergantungan manusia dan alam kepada wujud terbaik. Ketergantungan ini, memiliki konsekuensi berupa serangkaian tugas baik pada aspek keyakinan maupun perbuatan. Pada kondisi demikian, sudah semestinya kita menanti perintahnya, tidak hanya mengharap pelayanannya dalam area pemikiran maupun aktivitas kehidupan.

b. Humanisme
Kaum Materialis kontemporer, meremehkan aspek spiritualitas. Mereka menganggap yang ada hanyalah materi yang berujung pada penegasian setiap bentuk spiritualitas. Untuk menutupi kekosongan spiritualitas dalam kehidupan manusia, mereka berupaya melahirkan tiruan. Sehingga pandangan spiritual yang dianutnya, tidak terwarnai oleh pemahaman spiritualitas. Dari sini, lahirlah isu humanisme. Mazhab yang menjanjikan cinta sesama, kebahagiaan dan minus kerugian ini, berupaya mengambil alih peran spiritualitas serta keyakinan pada metafisik.
Mereka berpegang pada superioritas manusia dengan tujuan mengagungkannya. Humanisme pun lahir menambah deretan mazhab-mazhab materialisme. Sejatinya, mereka meyakini satu bentuk spiritualitas lain meringankan beban berat materialisme.
Dengan cara ini, kaum materialis berupaya membebaskan manusia dari penghambaan kepada Tuhan. Tetapi, pada akhirnya malah menyeret manusia pada pendewaan ekonomi serta alat produksi. Sebagaimana disitir kalangan Marxisme, sarana produksi merupakan pembangun sejarah, sedang manusia berada dalam arena permainannya. Kemuliaan apa yang diperoleh manusia, ketika dia tidak lagi memiliki pilihan. Ke manapun alat produksi melangkah, ke arah itu pula manusia berjalan.
Pelecehan pada manusia, ternyata tidak hanya terjadi dalam mazhab Marxisme. Tetapi juga, ditemukan dalam mazhab Kapitalisme. Meski dalam opini publik mereka menghormati manusia baik sebagai individu maupun kelompok. Tetapi, lagi-lagi opini publik tersebut, telah dikuasai kaum borjuis. Mereka merancang kegiatan sedemikian rupa untuk kepentingannya sendiri. Kemudian, seluruh manusia digiring menjadi kapitalis.
Para Penggagas isu penantian manusia terhadap agama, secara tidak sadar terpengaruh oleh paham humanisme yang memandang agama dari kaca mata manusia. Apapun selainnya diposisikan sebagai pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, mereka menyebutkan: “Penantian kita terhadap agama adalah ini dan itu”
Padahal kenyataanya, dalam pandangan seorang agamis, Tuhan sebagai poros dan selainnya adalah pelayan serta hamba. Kemendasaran hanya milik Tuhan serta agama, bukan manusia. Barangkali dalam terminologi yang lebih tepat, manusia berkhidmat pada agama, bukan agama yang berkhidmat pada manusia. Sebagaimana penjelasan al-Quran:
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan menghadap Tuhan yang maha pemurah, sebagai seorang hamba”[8]
Resultan dari kupasan isu di atas, menjelaskan kebutuhan manusia bukan kemuliaan agama.

c. Segitiga Ambigu
Dalam tema pembahasan di atas, tersusun segitiga ambigu. Sejatinya, para penggagas masalah ini, menuntaskan berbagai kesamaran dan kerancuan pembahasan serta menjelaskan pemahaman ketiga unsur berikut: masyarakat, agama dan penantian atau pemuas kebutuhan.
Unsur pertama perlu diperjelas, apa yang dimaksud dengan manusia? Peradaban manusia telah melewati lebih dari sepuluh ribu tahun. Apakah yang dimaksud adalah manusia jaman batu? Ataukah manusia setelahnya yang dijelaskan dalam berbagai format? Pembagian masyarakat yang dilakukan Marx berbeda dengan pemetaan yang dihasilkan para sosiolog lainnya. Namun, keduanya bertemu pada titik bahwa manusia masa kini berhadapan dengan berbagai gelombang pasang surut. Mereka sama sekali berbeda dari sisi pemikiran, kehidupan maupun kebutuhannya.
Kini, kita akan meneliti unsur kedua, apakah pengertian agama hanya dikhusukan pada agama langit, yang dikenal dengan agama Ibrahimi, ataukah termasuk berbagai aliran mistisme seperti Brahmana, Budha dan Hindu? Jika yang dimaksud adalah pengertian pertama, apakah ruang lingkupnya hanya meliputi agama yang tidak terdistorsi, ataukah termasuk juga agama yang mengalami penyimpangan? Misalnya agama yang menyebutkan bahwa Tuhan turun dari langit ke kemah Ya’kub untuk bergulat bersamanya, dan melalui pukulan dasyat, akhirnya menang. Ataukah agama yang menyebutkan, suatu hari al-Masih menghadiri pesta pernikahan. Saat persediaan minuman untuk para tetamu tidak mencukupi, al-Masih merubah air menjadi minuman melalui mukjizat. Di sebutkan pula: “Al-Masih juga meminum minuman keras, ia pun seorang pemabuk”.

Benar dan Salah Bukan Parameter
Ketika pemuas kebutuhan menjadi poros dalam kehidupan manusia, benar dan salah tidak lagi dianggap sebagai parameter. Meskipun, pemuas kebutuhan itu berupa pandangan keliru, tetap saja harus disebut sebagai agama dan wajib mensucikannya. Misalnya, dalam agama Hindu dan Budha terdapat ajaran reinkarnasi. Mereka meyakini bahwa manusia mengalami kematian berulang kali, kemudian kembali ke alam dunia. Manusia memperoleh balasan pahala atau siksa sesuai dengan perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan sebelumnya.
Keyakinan semacam ini, menjestifikasi adanya perbedaan kelas serta ketidak adilan melalui institusi agama. Seorang fakir yang tiada daya, menganggap bahwa kefakiran yang menimpanya saat ini, akibat perbuatan tercela yang dilakukan di kehidupan sebelumnya. Sebaliknya, manusia yang hidup makmur, berkat perbuatan baik yang dilakukan sebelumnya.
Nampaknya, keyakinan ini kontradiksi dengan kepercayaan terhadap kehidupan manusia pada masa mendatang, setelah kematiannya di dunia mengurangi kegetiran kaum fakir, mensejahterakan kelompok hedonis. Hal ini pada akhirnya, menghambat kelas proletar untuk melakukan berbagai gerakan revolusi buruh menentang golongan borjuis.
Tentu saja, jalan keluar yang ditawarkan agama yang telah terdistorsi, sama sekali berbeda dengan penyelesaian yang dilakukan oleh agama murni. Dengan penjelasan lain, penantian kita terhadap keduanya, pastilah tidak sama.
Adapun berkenaan dengan unsur ketiga, yaitu pemuas kebutuhan, perlu penjelasan lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan kebutuhan? Apakah kebutuan yang bersifat materi ataukah maknawi? Kebutuhan permanen ataukah tentatif? Kebutuhan individu atau sosial? Kebutuhan absolut atau sekedar maya?
Jika yang dimaksud adalah berbagai kebutuhan absolut, maka agama harus dapat memenuhi seluruh kebutuhan, termasuk kebutuhan maya sekali pun. Pada akhirnya, akan melahirkan konklusi bahwa agama memenuhi dua kebutuhan yang kontradiktif. Misalnya saja, seorang Yahudi pecinta dunia, mengharapkan kebutuhannya dalam menumpuk harta terpenuhi. Sementara, seorang Kristiani yang jujur juga menanti keinginannya terkabul, yaitu kesendirian serta menjauh dari kenikmatan dunia.
Seorang pemuda suci Kristen yang menolak berbagai kenikmatan biologis seksual, dengan alasan Tuhan melarangnya, memiliki penantian tertentu terhadap agama. Sedangkan kelompok yang berseberangan dengannya pun, memiliki kebutuhan yang berbeda pula.
Jika yang dimaksud adalah kebutuhan sejati, bukan maya. Maka, parameter apa yang digunakan untuk menilai kebutuhan benar dan salah?
Pada akhirnya, para penggagas isu ini, menempatkan agama sebagai pemuas seluruh kebutuhan. Nampaknya, perlu membagi kebutuhan ke dalam dua bagian: Pertama, kebutuhan yang dapat dipenuhi melalui pemikiran individu maupun masyarakat. Kedua, kebutuhan di luar kemampuan individu maupun masyarakat. Penantian masyarakat, berkenaan dengan bagian kedua. Padahal, untuk meninjau kembali dua kebutuhan tersebut memerlukan kriteria yang jelas.

Pemuas Kebutuhan atau Cinta Pada Kesempurnaan Absolut
Setiap kali mendiskusikan isu tentang penantian manusia terhadap agama dalam area filsafat agama serta memposisikannya pada kavling filsafat, secara spontan kekudusan agama akan sirna. Karena dalam konteks demikian, manusia hanya akan meyakini agama ketika ia mampu memuaskan kebutuhannya. Padahal, penggerak manusia dalam beragama adalah cinta pada kesempurnaan mutlak yang keindahannya mampu menyihir manusia.
Dengan kata lain, pembahasan di atas hanya mengungkap hubungan materi manusia dengan Tuhan. Sedikit pun tidak dipengaruhi oleh tujuan kesempurnaan absolut.

Rasionalitas Mendahului Wahyu
Dalam analisis di atas, rasionalitas diposisikan lebih utama ketimbang wahyu dan keinginan manusia dianggap sesuatu yang prima. Padahal sejatinya, dalam penantian agama terhadap manusia tidak demikian.
Akhirnya, para deklarator isu ini, dengan kebingungan tanpa mengenal hubungan manusia dengan Tuhan dan memahami tujuan beragama, tengah menanti giliran kebutuhannya dapat terpuaskan. Kini, kita lihat, apa saja penantian mereka. Perlu diingat kiranya, bagaimana penjelasan wahyu berkenaan dengan penantian seperti itu.
Seandainya kebenaran memperturutkan hawa nafsu mereka, maka binasalah langit, bumi serta semua yang ada di dalamnya[9].

Harapan Para Deklarator Penantian Manusia Terhadap Agama
Pada pembahasan yang lalu, telah dibuktikan bahwa pertanyaan “Apa penantian manusia terhadap agama itu?” merupakan sebuah pertanyaan yang jungkir balik, keliru. Sejumlah faktor mental maupun sosial, menyebabkan terjadinya perubahan dari pertanyaan sebenarnya, tentang “apa penantian agama terhadap manusia”.
Kini, apabila kita berasumsi, dengan mengabaikan berbagai kritik beragam yang menghujani bahwa skema pertanyaan dalam format pertama adalah benar, kita lihat apa harapan para deklarator ide ini terhadap agama. Pada realitasnya, persoalan tersebut diungkap oleh pelbagai kalangan dengan membawa ciri khasnya masing-masing. Dari seluruh pandangan di atas, ditarik sejaumlah konklusi ke dalam lima aspek:
1. Agama tidak layak melakukan intervensi ke dalam persoalan duniawi seseorang. Karena tujuan di utusnya nabi untuk kebahagiaan akhirat bukan dunia;
2. Agama tidak pada tempatnya mengintervensi ke berbagai dimensi kehidupan sosial manusia. Karena, agama hanya mengatur persoalan individu;
3. Konklusi diterimanya kedua proposisi di atas, melahirkan pandangan sekularisme dan pemisahan agama dari politik. Maka, sistem politik ilahiah tidak selayaknya memerintah;
4. Agama merupakan pegangan yang tanpa arah, sama sekali tidak pernah menampilkan arahnya yang khusus;
5. Agama adalah sesuatu yang bisu dan diam.

Selanjutnya, tulisan ini akan menyusuri pandangan-pandangan tersebut dan menyuguhkan analisis terhadapnya.

Pendapat Pertama
Salah seorang tokoh lama[10] menuliskan pandangannya berkenaan dengan persoalan di atas:
Tidak selayaknya menanti pada agama Islam, Kristen mapun Yahudi untuk memberikan kepada kita berbagai konstitusi dan undang-undang serta berbagai ketentuan secara sempurna dalam ideologi, politik, ekonomi, berbagai disiplin ilmu terapan, kedokteran dan kesehatan. Sebagaimana tidak disampaikannya ilmu memasak, menjahit, bangunan, ilmu keterampilan hidup serta berbagai penemuan lainnya.
Dalam pandangan di atas, terdapat mixing antara substansi agama dengan kulitnya yang merupakan bentuk penerapan hukum. Karena agama, di samping memiliki undang-undang yang tetap dan kekal. Ia juga memuat formulasi universal tentang politik, ekonomi, persoalan sosial serta akhlak yang sejalan dengan fitrah penciptaan manusia. Bentuk realisasinya yang disebut konstitusi dan lainnya, diserahkan kepada pemikiran masyarakat.
Misalnya, untuk memperkuat situasi pertahanan, agama menawarkan prinsip universal. Dari awal hingga saat ini, tidak akan hilang keuniversalannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja yang kalian sanggupi[11]
Tetapi, penerapannya tergantung pada para pemikir yang menangani masalah pertahanan. Mereka memiliki persenjataan khusus pada masanya.
Agama dapat memberikan pandangan tentang prinsip universal ekonomi sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan hukum akal. Melimpahkan otoritas untuk melakukan transaksi sesuai kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak,[12] mengharamkan praktik riba[13] dan melarang berbagai jenis kontrak yang mengandung spekulasi maupun penipuan.
Tetapi, bentuk penerapan prinsip-prinsip ini, dengan melihat di sepanjang masa disertai dengan perubahan, diserahkan kepada pemikiran masyarakat. Pada wilayah ini, tidak akan pernah terjadi intervensi.
Prinsip serupa juga dapat diterapkan dalam ruang lingkup politik serta keluarga. Di sini agama menyajikan berbagai prinsip universal yang membentuk bangunan ekonomi serta politik. Adapun yang diserahkan pada pemikiran masyarakat, berupa penerapan konstitusi serta undang-undang.

Kontradiksi Pandangan
Nampak amat menarik di sini, ketika sang narator menyampaikan pemikiran tersebut di akhir kehidupannya. Karena, ia berada pada situasi kekalahan politik dan naiknya pemerintahan agama. Padahal pada masa sebelumnya, yaitu pra revolusi Islam, ia menyerukan pemikiran yang sama sekali berbeda. Berikut beberapa contoh petikannya. Ia menuliskan demikian dalam bukunya:
“Islam mendesain aturan serta metode tertentu untuk semua perbuatan yang bersifat individu. Prinsip-prinsip tersebut sebelumnya diterapkan oleh kaum muslimin. Sehingga mampu mengarahkan seluruh pemikiran, kejadian serta perbuatan. Mereka juga memahami bahwa kebahagian dunia serta keselamatan akhirat terdapat pada prinsip-prinsip tersebut ”[14]
Pada bagian lain, ia menyebutkan:
Batu ujian (kitab) al-Qur’an sedemikian detail hingga mencakup berbagai persoalan besar maupun kecil. Menentukan pahala serta siksa setiap perbuatan, memuat aturan kenegaraan, memposisikan tinggi ilmu dan penelitian. Memberikan petuah tentang cara berbakti pada ayah dan ibu, berbuat baik pada keluarga serta orang lain. Meletakkan aturan kemasyarakatan dalam bidang kebersihan, menentukan waktu perdamaian serta peperangan, menawarkan konsep mu’amalah dalam bentuk fiqih dan berbagai syariat[15].
Ia juga dalam bukunya yang lain “Ihtiyâj Ruz” menuliskan:
Pada masa permulaan Islam, masjid dan jama’ah merupakan pusat perencanaan berbagai kegiatan serta pengambilan keputusan bersama. Di tempat itu pula, berbagai persoalan diselesaikan. Para khalifah serta Imam, seusai melaksanakan shalat jama’ah, berpidato di atas mimbar serta menyampaikan berbagai persoalan terbaru dan yang diperlukan oleh masyarakat. Para jama’ah juga memberikan sumbangsih pendapatnya serta mengikat janji bersama.
Di sana pula, perdamaian dan peperangan diputuskan. Tak jarang, barisan shalat jama’ah berganti menjadi barisan perang serta pertahanan. Para prajurit berangkat dari masjid untuk bertempur ke medan laga. Betapa banyak, para pejuang Islam dari berbagai tempat serta medan perang, memasuki masjid dengan pakaian kotor. Kemudian, melaporkan berbagai operasi militernya kepada masyarakat, sebelum akhirnya mereka kembali ke rumahnya masing-masing.”[16]
Kesimpulan dari berbagai pandangan di atas, agama memiliki pesan untuk setiap tema pembahasan. Di antaranya adalah persoalan duniawi, politik serta kenegaraan. Pembahasan ini, bertentangan dengan dua hipotesis sebelumnya yang menyebutkan bahwa agama terpisah dari politik dan tujuan diutusnya para nabi hanya untuk kebahagiaan akhirat. Coba Anda lihat, begitu jauh jarak perbedaannya.
Untuk membuktikan klaimnya, yang kebanyakan berbicara seputar pemisahan agama dari politik[17], penulis buku tersebut berupaya mengajukan berbagai argumentasi yang cukup mengejutkan bagi sosoknya sebagai seorang peneliti dan agamis[18]. Tentu saja, sampai saat ini kondisi spiritualnya terpengaruh oleh berbagai argumentasi tersebut. Dengan mempertimbangkan pengaruh serta berbagai pidatonya yang berharga, kiranya perlu memandang hal ini sebagai sejumput kesalahan yang hinggap di akhir hidupnya.
Dalam kesempatan ini, hanya akan difokuskan pada dua sampel argumentasi. Sehingga jelas, sejauh mana kekuatan metode berpikir seperti ini?

Argumentasi Pertama
Agama diturunkan untuk mengatasi berbagai persoalan ilmu dan amal akhirat. Bukan untuk menyelesaikan berbagai penderitaan hidup serta persoalan duniawi. Jika atas nama agama, ideologi serta pemerintahan agama terbentuk, maka pastilah para pemimpin agama tidak akan sukses mengatasi persoalan sosial. Hasilnya, masyarakat mukmin, terutama para pemuda yang penuh semangat, akan berperasangka negatif terhadap keyakinan keagamaannya.

Analisis
Argumentasi yang ditawarkan oleh si penulis yang mengemukakan gagasan tersebut, bersandar pada prinsip yang tidak tepat. Sehingga, konklusi yang dihasilkannya pun akan keliru. Penawaran ideologi serta pembentukan pemerintahan agama oleh kalangan agamawan, tidak berarti meliburkan aktivitas ilmiah dan pemikiran serta berbagai usaha sosial dengan hanya mencukupkan ketentuan dan aturan umum agama saja.
Menjadi kesepakatan nampaknya, setiap kategori yang dipresentasikan oleh ideologi dan pembentukan pemerintahan, yang menjadikan manusia diasumsikan tidak lagi membutuhkan ilmu dan pengetahuan serta kerja keras. Hal ini, hanya sekedar menegaskan kesimpulan yang telah disampaikan penulis saja. Di sini, para pemimpin agama dalam area pemerintahan akan mengalami prustasi, sehingga menyebabkan para pemuda menjauh dari agamanya.
Namun, tidak ada seorang pemimpin agama pun yang menyampaikan ideologi untuk membentuk pemerintahan dengan pemikiran seperti itu. Bahkan sebaliknya, dalam ketentuan berbagai aturan Islam, masyarakat didorong menuju kutub ilmu, pengetahuan, kesungguhan, dialog dan pertukaran gagasan serta memanfaatkan seluruh potensi lainnya. Disepakati kiranya, pandangan ideologi dan terbentuknya pemerintahan seperti itu, keduanya akan mengalami keberhasilan. Ketika terjadi kegagalan pada penerapannya, bisa jadi disebabkan oleh faktor lain.
Ketika pemerintahan Rasulullah dan Alawi berhasil melaksanakan tugas-tugasnya, hal ini berdasarkan prinsip dan kriteria tersebut.

Argumentasi Kedua
Penelitian historis membuktikan bahwa setiap agama dan pemerintahan yang berada di tangan pemimpin agama, menimbulkan banyak kerugian dalam masyarakat. Di sini, Bazargan membuktikannya dengan berbagai fakta tentang pemerintahan ribuan tahun kekuasaan Paus dan pemerintahan gereja, pemerintahan Umawi, Abasi dan Ustmani, Kesultanan Shafawi dan Qajar.

Analisis
Kekeliruan dari argumentasi ini sangat jelas. Karena, adanya perbedaan antara realitas agama dan penyalahgunaaan agama di sisi lain. Jika kenyataannya, agama Tuhan bergandengan dengan politik dan melakukan intervensi dalam urusan sosial. Ketika terjadi penyalahgunaan agama oleh para pemimpin dan aparat, maka- jika hal tersebut dianggap benar sekalipun- tidak bisa menjadi dalil bagi terpisahnya agama dan politik. Sebagai contoh, para pakar sebuah bangsa menentukan undang-undang dasarnya dengan seteliti dan seholistik mungkin untuk pemerintahan mendatang. Namun, jika pemerintah ada kalanya menyalahgunakan undang-undang tersebut, hal ini bukan dalil bagi lemahnya hukum, tetapi argumentasi bagi rapuhnya penerapan hukum tersebut.
Pada akhirnya pandangan seperti ini, alih-alih mengkaji al-Quran dan sunnah hingga posisi agama dan relasinya dengan berbagai persoalan sosial dan politik diketahui. Malah, memilih jalan lain dengan menyandarkan pada pendapat pribadi. Agama dipersepsi menurut pandangannya sendiri, dikatakannya agama harus begini dan tidak begitu. Padahal harus dikaji bagaimana sumber agama berbicara mengenai persoalan tersebut.

Pendapat kedua
Beberapa kalangan, melihat kehadiran agama dalam kancah politik dan arena sosial, harus diminimalisasi dan disempitkan perannya, hanya pada individu dan moral saja. Di sini, mereka mengemukakan pra justifikasi tertentu sebagai berikut:
Agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia, terdiri dari dua karakter penting. Pertama, pada posisi praktis seperti ”tali” tidak mempunyai arah. Kedua, pada posisi teoritis sebagaimana alam “diam” dan “bisu”. Maka definisi deskriptif yang tepat, agama merupakan sebuah tali yang diam.
Maksud dari makna “tali” adalah tidak “berarah”. Artinya, pada dasarnya dalam dataran praktis siapapun dengan tujuan dan arah apa pun tidak ditetapkan. Namun maujud yang memiliki arah dan tujuanlah yang menggunakan baik atau buruknya. Manusia yag bertakwa dapat menggunakan tali ini untuk keluar menyelamatkan diri dari jurang. Sementara manusia yang tidak bertakwa, mempergunakan media tersebut untuk menuruni dan terjun ke dalam jurang tersebut.[19]

Analisis
Menyoroti pandangan ini, terdapat beberapa kritik mendasar antara lain:
Pertama, jika dikatakan oleh beberapa kalangan bahwa pada dasarnya agama tidak bisa di tarik oleh siapa pun ke arah mana pun. Di sini, arah tidak memiliki makna.
Muncul pertanyaan di benak kita apa maksud penulis, agama tidak ditarik pada arah tertentu ? Jika yang dimaksud adalah bukan “agama dalam format potensi deterministik yang menarik manusia.” Pandangan ini walau pun benar, tetapi tidak ada kaitannya dengan pembahasan kita. Tidak ada agamawan yang meyakini bahwa agama dengan potensi konstrainnya secara praktis menarik manusia. Jika realitas agama demikian, di dunia ini tidak ada orang yang tidak beragama. Tentu saja hal ini, tidak bernilai. Karena, secara praktis sebuah tindakan harus dilandasi pilihan. Pada akhirnya manusia berada dalam dua jalan, mengikuti perintah Tuhan atau mendahulukan hawa nafsunya. Al-Quran mengisyaratkan tentang iman dengan ikhtiar bukan iman dengan keterpaksaan. Allah Swt berfirman: “Dan Jika Tuhan-mu menghendaki, semua manusia di atas bumi ini beriman pada-Nya, apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?” [20]
Dalam ayat ini, Tuhan tidak menginginkan iman deterministik karena tidak bernilai.
Jika maksud dari pembahasan penafian arah pembagian adalah memberikan arah aturan dan penjelasan, maka tidak diragukan lagi, agama Islam memiliki kategori arah pembagian yang dimaksud dan melalui jalan tersebut arah kehidupan menjadi jelas.
Tuhan menyampaikan perintah kepada Nabi dalam firman-Nya: “Katakanlah, inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukan termasuk orang-orang Musyrik”[21]
Al-Quran di dalam ayat lain, menceritakan kalangan yang mengimaninya sebagai petunjuk hidup. Allah Swt berfirman: “…Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Quran yang menakjubkan, yang memberikan petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman padanya. Kami sekali-kali tidak akan memepersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami” [22]
Pandangan yang mengatakan bahwa “agama sebagaimana tali dan tiada berarah, yang dengannya bisa keluar dan masuk ke dalam jurang” sepenuhnya mengalami fallacy. Karena, al-Quran tidak pernah mengibaratkan agama dengan tali. Tetapi al-Quran memperkenalkannya dengan tali Tuhan atau “hablullah”. Dengan jelas, hal tersebut menunjukan posisinya sebagai sumber keselamatan dari jurang, bukan jatuh ke dalamnya. Oleh karena itu, agama adalah bersambungnya sarana untuk menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan, serta keluar dari jurang kebodohan.
Al-Quran dalam posisi memuji persatuan kaum muslimin, menggunakan terma hablullah, sebagaimana firman-Nya: “ Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah padamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya padamu, agar kamu mendapat petunjuk.” [23]
Apabila hablullah al-Matin ini dalam kenyatannya merupakan sebuah tali yang tak bertujuan, tanpa nilai dan seni, mengapa al-Quran mendeskripsikannya dengan “fa anqa dzakum minha”, yakni kamu sebelumnya dalam api, kemudian tali ini menyelamatkan kamu dari jilatan api.
Kedua, jika yang dimaksud dengan ideologisasi agama, -sebagaimana yang diyakini oleh beberapa kalangan- bahwa agama hadir dalam domain memiliki arah, dalam bentuk ternafikan kondisi keterikatan darinya dan kemungkinan penyalahgunaannya, dengan tinjauan ini pada dasarnya syarat “takwa” telah terhapus dengan sendirinya. Jika seseorang menginginkan keyakinan langit dan illahi ini ditawarkan dalam suatu format dimana format itu secara otomatis memiliki tujuan serta darinya hanya dapat diaplikasikan dalam satu model, maka di samping tidak mungkin, juga telah menghapuskan syarat taqwa dan iman.
Analisis seperti ini, beranjak dari adanya tumpang tindih antara hidayah takwini dan hidayah tasyri’i. Keberadaan yang tidak memerlukan takwa adalah hidayah takwini, bukan tasyri’i.
Adanya tujuan sesuatu bermakna hidayah takwini, yang jelas menunjukkan bahwa hal ini tidak memerlukan takwa. Sebagai contoh, itik yang lahir dari sebutir telur, kemudian keluar mencari butiran makanan. Hidayah seperti ini tidak diperlukannya sama sekali, kecuali kecenderungan fitri.
Hidayah tasyri’i memerlukan takwa dan takut kepada Tuhan. Karena, ia tidak akan keluar dari area nasehat dan bahasa. Maka, keberadaan manusia tidak secara otomatis ada dengan sendirinya, karena ia tetap memerlukan sebab yang menghentikan dan menggerakannya.
Tujuan agama dengan ketakwaan, secara penuh seiring sejalan. Dengan adanya tujuan di jalan ini, agama menempatkan takwa berupa keadaan takut kepada Tuhan pada posisi sebagai kekuatan internal, yang menyebabkan manusia ditarik menuju arah tertentu, dan menghindar dari penyimpangan ke kiri maupun kanan.
Pendapat Lainnya
Syariat, sesuatu yang ‘diam’ dan ‘bisu’, bermakna bahwa dalam batinnya tidak mudah berada pada setiap orang. Maka tidak setiap orang yang mengkaji Kitab-Nya dan hadis Rasulullah Saw serta para hadis Imam akan memahaminya. Dengan demikian, diperlukan mata dan akal yang jernih terhadap berbagai prinsip dan pertanyaan yang terkait.
Syariat diam dan bisu, namun tidak berarti tanpa kata dan bahasa. Perkataan sendiri ditawarkan kepada yang hadir dan bertanya. Ketika tiada pertanyaan maupun tidak mengetahui apa yang diperlukan, sedikit memperoleh manfaat darinya. Pertanyaan manusia pada setiap zaman senantiasa baru.

Analisis
Pada prinsipnya, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari syariah yang diam dan berakal budi. Dari sini, diamnya al-Qur’an dan syariah ditafsirkan ke dalam dua perspektif.
Pertama, para alim yang mumpuni terhadap penguasaan al-Qur’an dan Sunnah. Ketika merujuk pada kedua sumber tersebut, maka apa yang singgah dalam hatinya tidak akan diutarakan. Dengan demikian, mereka akan terdiam untuk menyampaikan risalahnya.
Jika seperti itu, jelas sekali hipotesis ini gugur. Dengan ini, makna dari turunnya al-Qur’an sebagai petunjuk, tidak memiliki manfaat sama sekali dan tertolak dengan sendirinya.
Kedua, Adanya beberapa kalangan yang bukan spesialisasinya, yang tidak menguasai kajian terhadap kitab dan sunnah melakukan penilaian terhadap agama dan syariah dan mengambil manfaat dari keduanya. Mereka, bukan hanya tidak mendapatkan manfaat dari al-Qur’an dan sunnah. Bahkan, al-Qur’an menolak dan menutup jalannya. Karena, tanpa kelayakan dalam kriteria pemahaman agama dan syariah, al-Qur’an dan sunnah tidak mengungkapkan rahasianya sendiri. Dalam makna ini, al-Qur’an diam. Bukan untuk kalangan pertama, tetapi bagi kalangan kedua.
Sejatinya, jika al-Qur’an yang berhadapan dengan kelompok pertama diam, lalu apa makna dari penyataan tersebut.
Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman, “… (al-Qur’an) membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab selain itu…”[24]
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa mereka mendapatkan pahala yang besar”[25]
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an sebagai pelajaran, maka adakah orang-orang yang mengambil pelajaran ?”[26]
Nampaknya terjadi kontradiksi antara pemahaman al-Qur’an yang mudah dipahami, dengan pengertian al-Qur’an yang diam.
Al-Qur’an tidak hanya menjadi petunjuk bagi kaum muslimin, tetapi sumber yang merupakan neraca antara hak dan batil bagi kitab terdahulu. Ketika para ulama Yahudi dan Kristen, mengharapkan Taurat dan Injil bebas penyimpangan yang memasukinya. Kedua kitab tersebut, harus dikonfirmasikan dengan al-Qur’an, hingga menemui kebenaran. Maka, jelaslah al-Qur’an tidak hanya untuk kaum muslimin. Bahkan, bagi kaum kafir sekalipun, terdapat pesan di dalamnya.
Jika kita berkaca pada sabda Imam Ali As, sebagai sosok Imam yang berbicara sedangkan al-Qur’an sebagai imam yang diam. Maka, al-Qur’an secara mandiri merupakan peran yang tertulis dalam kertas. Sedangkan para alim sejati dan orang-orang yang mengenal lisan wahyu, mengungkapkannya. Di sini, Imam Ali As dalam salah satu khutbahnya menjelaskan:
Inilah al-Quran yang akan berbicara, selamanya ia sendiri tidak berbicara[27]
Dalam pengadilan, terdapat undang-undang sangat banyak, namun hanya dengan adanya peraturan saja tidak cukup. Tetapi, harus ada hakim yang memutuskannya, hingga aturan tersebut memiliki peran.
Berangkat dari sini, selain al-Qur’an terdapat alim natiq yang menyampaikannya. Hal ini, di luar al-Qur’an yang diam, sehingga tidak cukup diperoleh manfaat darinya.

Pendapat Akhir
Benar kiranya, pandangan yang meyakini bahwa dunia ini dikelola secara rasional oleh orang-orang yang berakal. Dalam realitasnya, hingga saat ini pun demikian. Fiqih program, tidak pernah memperlihatkan hasilnya. Bahkan, program fiqhi hanyalah sebuah kontradiksi yang kontras. Padahal, hanya fiqih yang menjadi wajah paling ril dan dekat hubungannya dengan unsur-unsur agama dalam kehidupan. Dalam hal ini, fiqih merupakan ilmu tentang cabang hukum. Maka jelas sekali, fiqih menjadi penjamin berbagai ketentuan hukum, perintah dan larangan untuk seluruh perilaku sosial maupun individual.
Siapa pun yang menyakini bahwa agama memiliki program untuk kehidupan dunia ini, akan menyandarkannya pada ketentuan fiqih yang berkaitan dengan ekonomi dan politik. Namun, pandangan ini masih bisa diperdebatkan.
Di sini, kita menjadikan fiqih sebagai titik tekan dan analisis, meskipun dalam area akhlak dan akidah tidak demikian.[28]
Pandangan yang meyakini bahwa alam harus diatur dan dikelola secara rasional oleh orang-orang yang berakal, merupakan pendapat yng kuat. Namun, yang menjadi pertanyaan, hal ini berada dalam lingkup hukum dan prinsip aturan yang mana? Di sinilah, kedua kalangan terpisah. Para penganut agama Islam, mengatakan bahwa orang-orang yang berakal, harus menyusun dan merencanakannya berdasarkan prinsip aturan Ilahi.
Jika dikatakan bahwa fiqih hanyalah hukum, bukan program. Nampaknya, hal ini tidak penting. Benar, fiqih merupakan hukum, namun program sebagai jubah implementasinya. Dalam prinsip hukum, fiqih sangat urgen dan kami sudah menyampaikan keberatan dengan adanya pemisahan antara keduanya.

Penantian Agama Terhadap Manusia
Mengikuti alur penjelasan ketiga isu sebelumnya,[29] nampaknya tidak perlu lagi mengupas isu keempat, tentang “Penantian Tuhan terhadap Manusia”. Karena, dengan penjelasan tujuan di utusnya para Nabi, yang hakikatnya berujung simpul pada kebahagiaan dunia dan akhirat, penantian agama terhadap manusia menjadi jelas.
Terma “agama” dalam diskursus yang lalu, kembali pada rahasia pemilik agama itu sendiri, yaitu Tuhan pencipta manusia serta alam semesta. Terminologi “Penantian Tuhan terhadap manusia”, jika memang tepat digunakan, mengandung pengertian bahwa Tuhan mengharapkan manusia menempuh jalan kesempurnaan, melalui jalan tauhid dan manifestasi sifat-sifat-Nya. Dialah Tuhan yang maha mengetahui dan kuasa, maha melihat dan mendengar, maha adil serta bijaksana. Manusia juga menjadi manifestasi sifat-sifat Tuhan tersebut, sesuai dengan kapasitas eksistensi mungkinnya sendiri.
Penantian agama terhadap manusia adalah berbagai upaya menerapkan hukum-hukum Tuhan dalam mencapai kebahagiaan dunia sebagai pengantar menuju kebahagiaan akhirat, mengindahkan tapal batas agama serta tidak memperturutkan hawa nafsu.
Kami akan menuntaskan pembahasan sampai di sini. Barangkali, tema ini dapat dikembangkan hingga persoalan sebenarnya menjadi jelas. [www.wisdoms4all.com]



[1] Doktor Abdullah Nashri merupakan salah seorang penulis mumpuni di Iran, ia menulis sebuah buku dengan tema serupa setebal 303 halaman yang diterbitkan oleh Yayasan Kebudayaan, Ilmu dan Pemikiran kontemporer. Penulis tidak hanya mengutip berbagai gagasan para pemikir, bahkan ia juga melakukan analisis dan kritik terhadap beragam pendapat tersebut.
[2]. Jame’eh Syenâsi Din hal. 205.
[3] Âyandeh Yek Fendâr, hal. 179.
[4] Fard wa Jâme’eh-hâye Imruzi hal. 7-9.
[5] Din Dardân hal 178.
[6] Majalah Naqd wa Nazar, edisi 6, hal 35.
[7] Tafakkur dini dar Qarn-e Bistum, hal 233-249
[8] Qs. Maryam, 19:93
[9] Qs. Al-Mu’minun, 23: 71.
[10] Âgha-ye Muhandes Bazargân
[11] Qs. al-Anfal, 8: 60.
[12] Qs. al-Baqarah, 2: 275.
[13] Qs. al-Baqarah, 2:275.
[14] Muhandes Bazargan, Mazahib dar Eropa Tabriz, Penerbit Soroush, , 1343 Hs: hal 17
[15] Ibid
[16] Ihtiyaj Ruz cetakan ketiga hal. 39-40
[17] ibid
[18] Di antara kebanggaan sejarah yang melekat padanya adalah untuk pertama kalinya pasca peristiwa bulan Syahrivar 1320 Hs, ia mengobarkan semangat keagamaan di kampus.
[19] Âkhirat, Khodâ, wa Bi’tsat-e Anbiyâ, hal. 6, 80, 97, 98,102.
[20] Qs. Yunus, 10 :99
[21] Qs. Yusuf, 12:108
[22] Qs. al-Jin, 72:1-2
[23] Qs. ali-Imran, 3:103
[24] Qs. al-Maidah, 5 :48.
[25] Qs.al-Isra, 17 :9.
[26] Qs.al-Qamar, 54 :17.
[27] Nahj al-Balaghah Khutbah 158.
[28] Mudara va Mudiriyat hal. 253
[29] Pertama, Penantian Manusia terhadap agama. Kedua, Agama Mencerahkan Kehidupan. Ketiga, Duta Tuhan ke atas Manusia.